Tahun 1906, Robert Peary telah melakukan perjalanan ke kutub utara. Ia melakukan ekspedisi untuk mengkonfirmasi bahwa Ellesmere Island Ice Shelf sudah berkurang dari 9000 km2. Pulau itu kemudian pecah menjadi beberapa bongkahan. Bongkahan yang terbesar adalah Ward Hunt Island Shelf. Volume bongkahan itu sampai 900 km3.
Menurut Derek Mueller, jika pemanasan global tidak bisa ditahan, maka dari tahun ke tahun, pecahan bongkahan es di kutub utara akan terus terjadi. Akibatnya, lama kelamaan kutub akan semakin sedikit. Tahun 2002 adalah tahun pertama penelitian tentang beting es. Derek Mueller adalah satu peneliti yang mengamati retakan-retakan di beting es kutub. April 2008 silam, satu ekspedisi diterjunkan kembali. Para peneliti mendapati retakan sepanjang 19 km di sepanjang beting Ellesmere Island Ice Shelf.
Kondisi yang mengkhawatirkan tidak saja terjadi di Kutub Utara, tetapi juga terjadi di Kutub Selatan, Lapisan es Antartika di Kutub Selatan juga semakin berkurang. Di bulan maret 2008, bongkahan es pecah seluas 414 km2 itu dikarenakan efek pemanasan global. Ukuran tersebut sama dengan besarnya kota Palembang di Sumatera Selatan. Menurut pemantauan satelit, bongkahan es tersebut mulai retak dan bergerak ke lautan sejak februari 2008.
Bongkahan es yang pecah akan bergerak ke lautan yang lebih panas. Mencapai laut, bongkah es tersebut akan mencair, kemudian hilang sama sekali, lenyap ! Di Kutub Selatan, bongkahan es yang pecah dalam ukuran besar baru terjadi 2 kali, yakni di tahun 1995 dan 2002. Namun karena suhu udara semakin panas, maka diperkirakan bongkahan es yang pecah akan semakin sering terjadi. Banyak ilmuwan memperkirakan, jika pemanasan global tidak bisa ditanggulangi, bongkahan es di Kutub Selatan akan habis dalam kurun 15 tahun mendatang. Saat ini bongkahan es yang terus pecah dan lenyap baru sekitar 4%. Menurut Christian Haas, ilmuwan dari Alfred Wagener Institute for Polar and Marine Research di Bremerhaven, Jerman, ketebalan es selama musim panas beberapa tahun terakhir terus mengalami penurunan. Rata-rata ketebalan es di Kutub Utara pada akhir musim panas 2007 adalah 1,3 meter. Padahal, pada 2001 tebal es masih 2,3 meter, dan pada 2004 tebal es 2,6 meter. Jika tren penipisan es di Kutub Utara terus terjadi, tidak mustahil ramalan para peneliti bahwa suatu saat Kutub Utara tidak akan ada lagi bongkahan es. Apalagi proses mencairnya es adalah proses satu arah. Artinya, es yang telah mencair tidak bisa membeku kembali.
Beberapa aktivis pecinta lingkungan menuding bahwa negara yang tergabung dalam G-8 memberi andil besar terhadap pemanasan global. Maklum saja negara-negara tersebut adalah penyumbang terbesar emisi gas Co2 di dunia karena menggunakan bahan bakar bersumber dari fosil. Amerika Serikat berada di posisi teratas dengan emisi gas Co2 sebanyak 6 miliar ton metrik pada 2004. Diikuti dengan Rusia, Jepang, Jerman, Kanada, Inggris dan Italia. Sementara penyumbang paling sedikit adalah Perancis dengan emisi sebesar 373 juta ton metrik. Tetapi ada juga negara diluar G-8 yang menyumbang emisi gas Co2 yaitu, China, India, Meksiko, Brazil, dan Afrika Selatan. Selain itu, dari pertemuan KTT G-8 ke 36 yang berlangsung di Osaka Jepang, juli 2008 lalu, para pemimpin negara G8 sepakat untuk mengurangi emisi gas Co2 di tahun 2050. Kesepakatan tersebut dianggap tidak jelas dan bermain-main. Padahal, pemanasan global terus berlangsung. Karena kesepakatan tersebut, negara-negara G8 dianggap tidak ambil peduli dengan kehancuran lingkungan hidup.
Tentu saja, lapisan es di kutub yang terus berkurang dan terpecah menjadi beberapa bagian kemudian mencair akan mengganggu keseimbangan lingkungan. Dampak langsung akan dirasakan oleh hewan-hewan kutub yang terbiasa hidup di alam yang sangat dingin. Seperti beruang kutub dan pinguin. Terbayang jika es di kutub terus pecah dan mencair, kehidupan mereka pun akan punah. Dampak yang lebih luas adalah naiknya permukaan air laut. Pulau-pulau kecil akan tenggelam. Sangatlah menyedihkan apabila hal tersebut sampai terjadi. Marilah kita jaga alam kita masing-masing dimanapun kita berada. Agar hal tersebut tidak sampai terjadi.
Sumber : Majalah Iptek Anak Orbit Edisi No.12 Tahun X.
Kondisi yang mengkhawatirkan tidak saja terjadi di Kutub Utara, tetapi juga terjadi di Kutub Selatan, Lapisan es Antartika di Kutub Selatan juga semakin berkurang. Di bulan maret 2008, bongkahan es pecah seluas 414 km2 itu dikarenakan efek pemanasan global. Ukuran tersebut sama dengan besarnya kota Palembang di Sumatera Selatan. Menurut pemantauan satelit, bongkahan es tersebut mulai retak dan bergerak ke lautan sejak februari 2008.
Bongkahan es yang pecah akan bergerak ke lautan yang lebih panas. Mencapai laut, bongkah es tersebut akan mencair, kemudian hilang sama sekali, lenyap ! Di Kutub Selatan, bongkahan es yang pecah dalam ukuran besar baru terjadi 2 kali, yakni di tahun 1995 dan 2002. Namun karena suhu udara semakin panas, maka diperkirakan bongkahan es yang pecah akan semakin sering terjadi. Banyak ilmuwan memperkirakan, jika pemanasan global tidak bisa ditanggulangi, bongkahan es di Kutub Selatan akan habis dalam kurun 15 tahun mendatang. Saat ini bongkahan es yang terus pecah dan lenyap baru sekitar 4%. Menurut Christian Haas, ilmuwan dari Alfred Wagener Institute for Polar and Marine Research di Bremerhaven, Jerman, ketebalan es selama musim panas beberapa tahun terakhir terus mengalami penurunan. Rata-rata ketebalan es di Kutub Utara pada akhir musim panas 2007 adalah 1,3 meter. Padahal, pada 2001 tebal es masih 2,3 meter, dan pada 2004 tebal es 2,6 meter. Jika tren penipisan es di Kutub Utara terus terjadi, tidak mustahil ramalan para peneliti bahwa suatu saat Kutub Utara tidak akan ada lagi bongkahan es. Apalagi proses mencairnya es adalah proses satu arah. Artinya, es yang telah mencair tidak bisa membeku kembali.
Beberapa aktivis pecinta lingkungan menuding bahwa negara yang tergabung dalam G-8 memberi andil besar terhadap pemanasan global. Maklum saja negara-negara tersebut adalah penyumbang terbesar emisi gas Co2 di dunia karena menggunakan bahan bakar bersumber dari fosil. Amerika Serikat berada di posisi teratas dengan emisi gas Co2 sebanyak 6 miliar ton metrik pada 2004. Diikuti dengan Rusia, Jepang, Jerman, Kanada, Inggris dan Italia. Sementara penyumbang paling sedikit adalah Perancis dengan emisi sebesar 373 juta ton metrik. Tetapi ada juga negara diluar G-8 yang menyumbang emisi gas Co2 yaitu, China, India, Meksiko, Brazil, dan Afrika Selatan. Selain itu, dari pertemuan KTT G-8 ke 36 yang berlangsung di Osaka Jepang, juli 2008 lalu, para pemimpin negara G8 sepakat untuk mengurangi emisi gas Co2 di tahun 2050. Kesepakatan tersebut dianggap tidak jelas dan bermain-main. Padahal, pemanasan global terus berlangsung. Karena kesepakatan tersebut, negara-negara G8 dianggap tidak ambil peduli dengan kehancuran lingkungan hidup.
Tentu saja, lapisan es di kutub yang terus berkurang dan terpecah menjadi beberapa bagian kemudian mencair akan mengganggu keseimbangan lingkungan. Dampak langsung akan dirasakan oleh hewan-hewan kutub yang terbiasa hidup di alam yang sangat dingin. Seperti beruang kutub dan pinguin. Terbayang jika es di kutub terus pecah dan mencair, kehidupan mereka pun akan punah. Dampak yang lebih luas adalah naiknya permukaan air laut. Pulau-pulau kecil akan tenggelam. Sangatlah menyedihkan apabila hal tersebut sampai terjadi. Marilah kita jaga alam kita masing-masing dimanapun kita berada. Agar hal tersebut tidak sampai terjadi.
Sumber : Majalah Iptek Anak Orbit Edisi No.12 Tahun X.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar