Saat ini hampir semua alat elektronika menggunakan baterai lithium-ion. Baterai lithium-ion memiliki kelebihan pada daya dan energi yang dimiliki dibanding pendahulunya seperti baterai Ni-Cd dan Zinc-Mn. Sifatnya yang rechargeable juga merupakan salah satu kelebihan yang dapat digunakan sebagai penyimpan energi listrik.
Beberapa teknologi terbaru sebenarnya sudah tersedia yang dapat dijadikan pengganti baterai 'lithium ion'. Salah satunya adalah 'fuel cell'. Bahkan para vendor sudah lumayan lama menemukan fuel cell. Ketika baterai lithium mulai menggeser posisi baterai Nikel (NiMH dan Ni-Cd2), meskipun sudah jelas terbukti bahwa performa lithium jauh lebih baik dibandingkan nikel, tetap saja butuh waktu cukup lama bagi para vendor untuk mengaplikasikannya ke dalam produk-produk mereka. Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang 'fuel cell' ada baiknya menjelaskan terlebih dahulu tentang 'lithium ion'.
Baterai Lithium ion
Baterai lithium-ion selama ini lebih dikenal untuk dipergunakan pada perangkat mobile seperti ponsel, kamera digital atau perangkat portabel lainnya. Padahal tidak demikian, baterai lithium ion bahkan sudah digunakan sebagai sumber daya untuk mobil hybird.
Baterai lithium-ion pertama kali ditemukan oleh M.S. Whittingham pada tahun 1970 yang menggunakan titanium(II)sulfide sebagai katoda dan lithium metal sebagai anoda. Dengan penelitian yang intensif selama lebih dari 20 tahun, akhirnya pada tahun 1991 Sony memproduksi secara komersial baterai lithium-ion pertama kalinya. Sejak produksi komersial tahun 1991, produksi baterai lithium-ion mengalami kenaikan yang sangat pesat karena telah membuat revolusi didunia elektronik.
Sejak diproduksi tahun 1991, baterai lithium-ion tidak mengalami perubahan signifikan pada sifat kerja baterai ini. Ada 3 elemen yang berperan dalam proses 'discharge' dan 'recharge' yaitu elektroda positif yang mengandung LiCo02, elektroda negatif yang terbuat dari karbon grafit (C6), dan separator yang terbuat dari lapisan tipis plastik yang dapat dilalui oleh ion-ion. Pada proses discharge atau saat kita memakai baterai, li-ion bergerak dari negatif ke positif melalui separator, sehingga elektron bergerak dengan arah yang sama. Aliran elektron inilah yang menghasilkan energi listrik.
Dalam perkembangannya, lithium ion terus mengalami kemajuan. Peneliti dari University of Leeds di Inggris mengembangkan polimer baru sebagai bahan baku membuat baterai lithium-ion. Materi yang digunakan ini memiliki kinerja yang tinggi namun dengan biaya yang lebih rendah. Menurut para peneliti tersebut, baterai yang dibuat dengan menggunakan gel baru memiliki kepadatan energi yang sama serta kemampuan penyimpanan seperti baterai lithium-ion pada umumnya namun mengeluarkan biaya yang terbilang lebih kecil dibanding penggunaan bahan baku lainnya.
Ian Ward, salah seorang profesor risetndan ahli fisika, yang merupakan penemu materi baru ini percaya bahwa gel baru tersebut dapat menggantikan elektrolit cair yang sering digunakan untuk membuat baterai lithium-ion. Keuntungan tambahan yang paling mendasar dari bahan gel yang berasal dari polimer ini dapat dibuat menjadi film yang lebih tipis. Bahan ini berukuran sangat tipis dengan ketebalan hanya beberapa mikrometer.
Gel polimer terlihat seperti sebuah film yang solid, tetapi sebenarnya mengandung elektrolit cair sebesar 70 persen. Bahan ini dibuat dengan menggunakan prinsip yang sama seperti membuat jelly. Bedanya, dalam hal ini ada polimer dan campuran elektrolit. Keduanya membentuk suatu massa yang solid namun fleksibel.
Proses manufaktur yang dikembangkan oleh tim peneliti dipatenkan dengan nama extrusion/lamination, yang terbukti mampu menjepit lembaran gel antara anoda dan bahan katoda dengan kecepatan melebihi 10 meter per menit.
Lembaran gel yang dihasilkan oleh gel polimer dipotong ke ukuran yang ditentukan dan dibentuk ke dalam baterai sesuai nomor dan jenis perangkat portabel. Karena gel polimer memiliki sifat fleksibilitas, maka baterai yang baru bentuknya akan lebih menarik dan tidak akan kaku seperti sebelumnya.
Baterai Full Cell
Sejak beberapa tahun lalu, para vendor sudah menemukan pengganti baterai Lithium-ion (Li-ion) dan Lithium-polimer (Li-po) yang hingga saat ini masih menjadi sumber tenaga di sebagian besar gadget elektronik, namanya fuel cell.
Gambar lapisan-lapisan pada fuel cell.
Pada tahun 2002, vendor-vendor seperti Casio Computer, Toshiba, Hitachi, Motorola dan MTI telah memperkenalkan fuel cell berbahan utama metanol sebagai kandidat kuat pengganti lithium. Selain ideal digunakan di produk bergerak seperti laptop dan ponsel, fuel cell juga dianggap irit konsumsi daya dan mampu menambah waktu pakai perangkat elektronik hingga 10 kali lebih lama.
Fuel cell diciptakan pertama kali oleh Sir William Grove pada tahun 1839. Grove menemukan bahwa ternyata air bisa terurai menjadi hidrogen dan oksigen ketika diberi arus listrik. Proses ini kemudian dinamakan elektrolisis. Ia lalu berhipotesis bahwa jika proses tersebut dibalik untuk menghasilkan listrik dan air. Lima puluh tahun kemudian, Ludwig Mond dan Charles Lenger memopulerkan istilah 'fuel cell' ketika sedang membuat model praktis untuk menghasilkan listrik.
Fuel cell pada dasarnya adalah alat konversi energi elektrokimia. Ia mampu mengubah senyawa hidrogen dan oksigen menjadi air, dan dalam prosesnya menghasilkan listrik. Beda dengan baterai yang mengubah semua senyawa kimia di dalam tubuhnya menjadi listrik dan kemudian habis sehingga harus dibuang atau mesti diisi ulang memakai catuan daya, senyawa kimia di fuel cell terus mengalir di dalam selnya secara konstan sehingga tidak pernah mati.
Ada banyak jenis baterai fuel cell, namun yang paling banyak dipilih vendor sebagai kandidat kuat pengganti baterai Lithium adalah DMFC (Direct Methanol Fuel Cell). DMFC sebenarnya telah dikembangkan sejak awal tahun 90-an. Prinsip kerja dari DMFC ini yaitu, larutan metanol ditambahkan ke sisi anoda baterai (fuel side) dan akan terurai menjadi proton dan elektron serta karbondioksida. Elektron akan dibawa keluar fuel cell dalam bentuk arus listrik yang kemudian dipakai untuk menjalankan notebook selama kira-kira 8 jam. Arus tersebut lalu mengalir kembali ke katoda fuel cell (air side). Proton dan elektron di katoda kemudian bereaksi dengan udara untuk membentuk air, yang selanjutnya dibuang dari sistem.
Sebenarnya dari kedua teknologi ini, fuel cell lebih menjanjikan dibanding lithium-ion namun proses adaptasi memang tidak mudah. Selain diganjal harga bahan baku yang masih mahal, butuh edukasi yang intensif kepada para konsumen yang masih awam dengan teknologi fuel cell karena mereka harus membiasakan diri tak lagi mencolok gadget ke listrik, tapi cukup mengisi ulang baterai dengan metanol cadangan.
Referensi :
Tabloid Pulsa Dwi Mingguan Edisi 219 Th IX / 2011 / 19 Oktober - 1 November