Selasa, 22 Maret 2011

Dari Kelas Asongan Sampai Hipermarket. (Tulisan Ekonomi)

        Dari Kelas Asongan Sampai Hipermarket.
Sintong Jonatan Hutapea
19410756
1IB02

          Prestasi penjualan Coca-Cola yang meningkat pada zaman serba sulit seperti sekarang ini menggelitik rasa tahu orang. Karena Coca-Cola pindah segmen ? Jika melihat iklan produk minuman ringan ini dilayar kaca, boleh jadi orang akan berpendapat demikian. Soalnya, ada perubahan yang terlihat mencolok dalam setting iklan Coca-Cola yang tidak lagi bergaya metropolis dan mendunia. Sejak 1998, Coca-Cola mulai gencar membuat iklan yang menonjolkan latar belakang suasana pedesaan dengan kehidupan masyarakatnya sehari-hari.

          Tengok iklan seorang tua yang susah payah mendorong becak di jembatan gantung. Atau iklan seorang anak muda yang bersusah payah memperbaiki sepeda motornya di tengah terik matahari. Juga iklan yang menggambarkan sekelompok bocah kehausan sepulang bermain sepakbola. Kesemuanya mengangkat kehidupan sehari-hari masyarakat urban.
         
          Namun, kesemua gambaran dalam iklan itu, sama sekali tidak ada kaitannya dengan perubahan segmentasi produknya. Coca-Cola tidak pernah mengubah segmentasi produknya. Coca-Cola tidak pernah melakukan segmentasi konsumennya berdasarkan kelas. Hal itu bisa dijelaskan dengan distribusi Coca-Cola yang menyebar mulai dari pedagang asongan di kaki lima sampai hipermarket yang banyak dikunjungi masyarakat kelas menengah keatas. Dan soal setting iklan itu sendiri, pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa Coca-Cola ingin menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.

           Teknik beriklan yang dilakukan Coca-Cola adalah story telling atau mendongeng. Coca-Cola mengambil beberapa gaya cerita yang "agak udik". "Indonesia sedang berjuang keluar dari krisis, suasana desa membantu perasaan-perasaan nostalgia dan lebih dirasakan puitis, menyentuh rasa nasionalisme kita. Pesan ini dianggap Coca-Cola relevan.

          Untuk mendapat ide iklan yang relevan dengan konsumen, Coca-Cola melakukan survei terus-menerus selama 3 tahun. Hasil survei itulah yang kemudian dikembangkan dalam bentuk iklan. Dengan iklan keberhasilan suatu produk bisa ditentukan, contohnya Coca-Cola.

Rabu, 16 Maret 2011

Indonesia Alami Over-Bank (Tulisan Ekonomi)

Sintong Jonatan Hutapea (19410756) (1IB02)

Indonesia Alami Over-Bank
          Desakan konsolidasi perbankan menguat. Ini dikarenakan jumlah bank di Indonesia yang mencapai 130 tergolong over-bank (terlalu banyak). Sementara kapasitas maupun kapabilitas pelayanan sebagian besar bank itu amat rendah, lalu ditambah juga jaringan cabang, ATM, dan layanan internet banking hanya didominasi bank-bank papan atas. Kondisi industri perbankan Indonesia ini belum seideal di negara lain. Di Indonesia, 75% penguasaan pasar dipegang 10 bank, sedangkan di negara seperti Singapura, Swedia dan Belanda, pangsa pasar sebesar itu hanya dikuasai 5 bank. Ketiga negara itu adalah best practice industri perbankan global.
           Tak mengherankan jika aset dan kapasitas modal bank di negara-negara tersebut jadi lebih besar. Oleh karena itu mendesak konsolidasi perbankan di Indonesia, dengan cara merger atau akuisisi. Penciutan jumlah bank itu berdampak positif karena memperkuat permodalan dan kepemilikan bank yang tersisa, selain itu, akan tercipta bank yang efisien, berjaringan luas, dan skala ekonomi tinggi. Masih ada sederet keuntungan lain dengan konsolidasi bank. Kemampuan investasi bank bisa meningkat, konsumen puas dengan jaringan luas, dan keragaman variasi produk. Pemerintah pun lebih mudah melakukan pengawasan sehingga kian efektif dan efisien.
           Perampingan jumlah bank mendorong persaingan sehat antarbank. Sehingga kelak bank-bank di Indonesia bisa menjadi bank berskala global. Saat ini bank terbesar di Indonesia, Bank Mandiri, hanya menempati peringkat di luar 200 besar perbankan top di Asia Pasifik. Oleh karena itu, konsolidasi perbankan telah menjadi tren dunia sejak satu dekade lalu. Mantan Gubernur Bank Uni Eropa, James Attali memprediksi, dalam 20 tahun mendatang hanya terdapat 4 sampai 5 bank berskala global yang ditopang ratusan bank lokal pendukung.